SETANGKAI EDELWEIS
Yusriah
Ulfah Winita
Masihkah kau sebut Edelweis sebagai lambang keabadian, jika
bersamanya terkubur ikrar abadi?
Masih segar di ingatan wanita
bermata cekung itu, tiga puluh tahun lalu, dua rupa yang mungkin sekalipun ia
ingin, tak akan pernah lekang. Ekor matanya yang sudah dimakan usia
bergerak-gerak. Kelebat dua rupa itu kembali mengusik. Memaksa kenangan yang
sangat ingin dikuburnya bangkit lagi.
“...Maukah kau menjadi penyempurna
hidupku? Bukan hanya di dunia, melainkan kelak di kehidupan kedua. Tuhan dan
Gunung Bawakaraeng ini menjadi saksinya.” Pria berkulit kecokelatan itu
berjongkok di atas bongkahan batu besar berlumut. Setangkai Edelweis dalam
genggamannya.
“Aku...”
Jari yang tak lagi seperti dulu menyeka
sudut matanya. Bahkan setelah waktu berputar, matanya masih saja tak sanggup
membendung rasa sakit itu. Bukan hanya mata, tetapi juga hatinya. Kadang ia
menyesali, mengapa waktu itu ingatannya tak hilang saja. Bukankah dalam
hidupnya sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan? Bersama dengan kenangan
itu, Tuhan merenggut semua yang dimilikinya. Lihat saja, sekarang ia telah
menjelma menjadi boneka tua yang hanya bertumpu pada kursi roda, tangan kiri
tak lagi bisa bergerak, dan jari-jari yang luluh lantah bentuknya.
Sungguh, Tuhan tidak pernah adil
padanya. Sejak dulu...
***
Oriza.
Agustus, 1992
Wawan nama pria itu. Kulitnya kecokelatan, tubuh tidak terlalu
tinggi, tetapi selalu dapat menarik perhatian kaum hawa. Termasuk Oriza.
Seorang gadis sederhana yang memiliki setumpuk mimpi. Ia terlampaui mengagumi
sosok Wawan. Bahkan ketika para pengagumnya mundur perlahan-lahan karena hobi
mendaki, Oriza tetap kukuh pada pendiriannya. Bukan hanya mengagumi lagi, ia
ingin memiliki sosok itu. Dan keinginannya menjadi kenyataan. Setahun setelah
mengenal Wawan, mereka melangsungkan ikrar suci. Tanpa wali.
Sehari, seminggu, sebulan... semua baik-baik saja. Hingga pada
suatu hari, untuk pertama kali, Wawan mengajaknya mendaki. Meski awalnya ragu,
pada akhirnya Oriza setuju. Tetapi, siapa sangka. Pendakian yang harusnya
berakhir bahagia itu justru mendatangkan prahara.
Wanita yang sudah begitu dikenalnya
entah mengapa terlihat lain hari itu. Juli, teman sekampus Wawan. Sejak pertama
kali mengenal Wawan, kala itu juga ia mengenal Juli. Pembawaannya ceria. Juga
satu-satunya teman Wawan yang memiliki tatapan lain padanya.
“Julia Sativa, Maukah kau menjadi
penyempurna hidupku?...”
Pertanyaan di benak Oriza terjawab
sudah kala itu. Lanjutan kalimat Wawan tak lagi didengarnya. Hanya ada gelap,
setelah kalimat almarhum Ayahnya terngiang.
“Ayah memberi kalian nama yang jauh
berbeda tetapi saling melengkapi...”
Alasan kenapa Juli memiliki tatapan berbeda padanya, bukan sekedar
sebagai orang terdekat Wawan, melainkan karena darah mereka memang sama.
***
Juli.
Februari, 2022
Kini air mata telah membanjiri wajah keriputnya. Miris mengenang
kejadian ketika Wawan berlutut di hadapannya dengan setangkai Edelweis.
“Ibarat Edelweis, aku ingin cinta
kita abadi.”
Sementara beberapa meter dari
mereka, Oriza tergolek tak berdaya. “Kakak...”
Saat itu, ia baru sadar kalau
dirinya berada di antara Wawan dan Oriza, adiknya sendiri.
“Kalau kau masih menganggapku
wanita yang melahirkanmu, jangan pernah mengukir cerita dengan laki-laki itu!”
Bola mata gadis berusia dua puluh
itu bergerak-gerak. Ada kilatan tekad terpancar di dalamnya. “Kenapa!?”
setengah berteriak. “Bukankah salah satu kewajiban orang tua adalah menikahkan
anaknya? Mama pernah bilang sudah bosan dengan tingkahku, jadi biarkan saja aku
dengannya. Karena setelah itu, kewajiban Mama gugur padaku. Tidak lagi perlu
memberiku uang jajan, membuat sarapan, atau...”
“Ambil.” Suara wanita bertubuh
gempal itu pelan, tetapi cukup menghentikan kalimat putri semata wayangnya.
Sebuah amplop putih disodorkan.
Seketika ia tersentak. Kenapa
ingatan itu baru melintas di benaknya sekarang? Saat semua sudah terlambat.
Mungkinkah ini teguran Tuhan karena ia telah menyakiti hati orang yang paling
tulus mencintainya? Astaga! Betapa durhakanya ia pada waktu itu...
Jika berandai-andai tidak terlalu
menyakitkan, maka ia akan mengandaikan waktu itu lebih sabar sedikit. Membuka
amplop putih dari Mama, membacanya. Mungkin saja, di antara lembaran rupiah
yang diberinya terselip sebuah fakta kalau pria yang diperjuangkannya telah
menikah siri dengan adiknya sendiri.
Andai saja... Mungkin saat ini ia masih bisa melihat Oriza...
Mama... mungkin juga Wawan.
Tidak peduli lagi dengan kalimat
Mamanya, gadis dua puluh tahun itu meraih amplop putih di atas meja yang
taplaknya sudah usang. Dan tanpa basa-basi menarik ransel besarnya, lalu pergi.
Ia sudah bulat, hari ini adalah hari terakhir menginjakkan kaki di rumah reot
yang sudah bertahun-tahun mengikuti langkahnya. Ketika kakinya terhenti tepat
di ujung pekarangan, ia melempar amplop itu ke tong sampah. Tanpa membukanya.
***