2016 - Arabic Blog
SETANGKAI EDELWEIS
Yusriah Ulfah Winita

Masihkah kau sebut Edelweis sebagai lambang keabadian, jika bersamanya terkubur ikrar abadi?
            Masih segar di ingatan wanita bermata cekung itu, tiga puluh tahun lalu, dua rupa yang mungkin sekalipun ia ingin, tak akan pernah lekang. Ekor matanya yang sudah dimakan usia bergerak-gerak. Kelebat dua rupa itu kembali mengusik. Memaksa kenangan yang sangat ingin dikuburnya bangkit lagi.
            “...Maukah kau menjadi penyempurna hidupku? Bukan hanya di dunia, melainkan kelak di kehidupan kedua. Tuhan dan Gunung Bawakaraeng ini menjadi saksinya.” Pria berkulit kecokelatan itu berjongkok di atas bongkahan batu besar berlumut. Setangkai Edelweis dalam genggamannya.
            “Aku...”
            Jari yang tak lagi seperti dulu menyeka sudut matanya. Bahkan setelah waktu berputar, matanya masih saja tak sanggup membendung rasa sakit itu. Bukan hanya mata, tetapi juga hatinya. Kadang ia menyesali, mengapa waktu itu ingatannya tak hilang saja. Bukankah dalam hidupnya sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan? Bersama dengan kenangan itu, Tuhan merenggut semua yang dimilikinya. Lihat saja, sekarang ia telah menjelma menjadi boneka tua yang hanya bertumpu pada kursi roda, tangan kiri tak lagi bisa bergerak, dan jari-jari yang luluh lantah bentuknya.
            Sungguh, Tuhan tidak pernah adil padanya. Sejak dulu...
***
Oriza. Agustus, 1992
Wawan nama pria itu. Kulitnya kecokelatan, tubuh tidak terlalu tinggi, tetapi selalu dapat menarik perhatian kaum hawa. Termasuk Oriza. Seorang gadis sederhana yang memiliki setumpuk mimpi. Ia terlampaui mengagumi sosok Wawan. Bahkan ketika para pengagumnya mundur perlahan-lahan karena hobi mendaki, Oriza tetap kukuh pada pendiriannya. Bukan hanya mengagumi lagi, ia ingin memiliki sosok itu. Dan keinginannya menjadi kenyataan. Setahun setelah mengenal Wawan, mereka melangsungkan ikrar suci. Tanpa wali.
Sehari, seminggu, sebulan... semua baik-baik saja. Hingga pada suatu hari, untuk pertama kali, Wawan mengajaknya mendaki. Meski awalnya ragu, pada akhirnya Oriza setuju. Tetapi, siapa sangka. Pendakian yang harusnya berakhir bahagia itu justru mendatangkan prahara.
            Wanita yang sudah begitu dikenalnya entah mengapa terlihat lain hari itu. Juli, teman sekampus Wawan. Sejak pertama kali mengenal Wawan, kala itu juga ia mengenal Juli. Pembawaannya ceria. Juga satu-satunya teman Wawan yang memiliki tatapan lain padanya.
            “Julia Sativa, Maukah kau menjadi penyempurna hidupku?...”
            Pertanyaan di benak Oriza terjawab sudah kala itu. Lanjutan kalimat Wawan tak lagi didengarnya. Hanya ada gelap, setelah kalimat almarhum Ayahnya terngiang.
            “Ayah memberi kalian nama yang jauh berbeda tetapi saling melengkapi...”
Alasan kenapa Juli memiliki tatapan berbeda padanya, bukan sekedar sebagai orang terdekat Wawan, melainkan karena darah mereka memang sama.
***
Juli. Februari, 2022    
Kini air mata telah membanjiri wajah keriputnya. Miris mengenang kejadian ketika Wawan berlutut di hadapannya dengan setangkai Edelweis.
            “Ibarat Edelweis, aku ingin cinta kita abadi.”
            Sementara beberapa meter dari mereka, Oriza tergolek tak berdaya. “Kakak...”
            Saat itu, ia baru sadar kalau dirinya berada di antara Wawan dan Oriza, adiknya sendiri.
            “Kalau kau masih menganggapku wanita yang melahirkanmu, jangan pernah mengukir cerita dengan laki-laki itu!”
            Bola mata gadis berusia dua puluh itu bergerak-gerak. Ada kilatan tekad terpancar di dalamnya. “Kenapa!?” setengah berteriak. “Bukankah salah satu kewajiban orang tua adalah menikahkan anaknya? Mama pernah bilang sudah bosan dengan tingkahku, jadi biarkan saja aku dengannya. Karena setelah itu, kewajiban Mama gugur padaku. Tidak lagi perlu memberiku uang jajan, membuat sarapan, atau...”
            “Ambil.” Suara wanita bertubuh gempal itu pelan, tetapi cukup menghentikan kalimat putri semata wayangnya. Sebuah amplop putih disodorkan.
            Seketika ia tersentak. Kenapa ingatan itu baru melintas di benaknya sekarang? Saat semua sudah terlambat. Mungkinkah ini teguran Tuhan karena ia telah menyakiti hati orang yang paling tulus mencintainya? Astaga! Betapa durhakanya ia pada waktu itu...
            Jika berandai-andai tidak terlalu menyakitkan, maka ia akan mengandaikan waktu itu lebih sabar sedikit. Membuka amplop putih dari Mama, membacanya. Mungkin saja, di antara lembaran rupiah yang diberinya terselip sebuah fakta kalau pria yang diperjuangkannya telah menikah siri dengan adiknya sendiri.
Andai saja... Mungkin saat ini ia masih bisa melihat Oriza... Mama... mungkin juga Wawan.
            Tidak peduli lagi dengan kalimat Mamanya, gadis dua puluh tahun itu meraih amplop putih di atas meja yang taplaknya sudah usang. Dan tanpa basa-basi menarik ransel besarnya, lalu pergi. Ia sudah bulat, hari ini adalah hari terakhir menginjakkan kaki di rumah reot yang sudah bertahun-tahun mengikuti langkahnya. Ketika kakinya terhenti tepat di ujung pekarangan, ia melempar amplop itu ke tong sampah. Tanpa membukanya.
***

            
UNTUK ADIKKU

Adikku,
Jangan kau sangsi garis takdirmu,
yang tertulis untaian jalanmu.
Biar jalan penuh kerikil,
tak baik melempar ke jalan jiwa lain.
Biar jalan semerbak kesturi,
tetaplah menunduk.

Adikku,
Walau ribuan maki keluar dari bibir,
takkan berkurang kasihku.
Percayalah.

Jika tak kau temui kepercayaan,
maka Tuhan-lah tempatmu kembali, sayang.

Tamalanrea, 28 Maret 2016, 20.28 WITA


Putih Abu-Abu
Yusriah Ulfah WInita

Bersama kita merajut asa
Berbagi dalam kepingan cahaya
Bermimpi tentang hari esok
Bertualang dalam dunia abu-abu

Kita adalah kuncup-kuncup,
yang menanti kekasihnya
Kita adalah tunas-tunas, 
yang mendamba musim semi
Kita adalah kunang-kunang,
yang bercita menjadi bintang

Ketika...
Sepenggal asa menyapa...
Merentangkan sayap putihnya...
Menawarkan sepotong harapan...

Saat itulah...
Kita menghiasi langit malam 
Saling melambai dalam rujatan masa lampau
Bertitip salam pada semilir angin
Berharap takdir berpotongan

Karena, 
Sayap abu-abu telah menjelma,
pada pijakan yang berbeda
KISAH SEDERHANA

Ini hanya sebuah kisah sederhana tentang rutinitas pagi, yang kadang luput dari perhatian kita. Aku sendiri juga baru tahu dari seorang teman.

Di sebuah jalan, pagi. Saat berangkat ngampus bersama seorang teman. Ia berkata padaku, "Lihatlah. Aku selalu suka dengan rutinitas pagi seperti ini." Aku sedikit bingung, bertanya, "Rutinitas bagaimana?" Ia tersenyum, "Begini. Kesibukan mahasiswa lalu-lalang menuju kampus, bahkan hampir memenuhi seluruh jalan kecil ini. Sangat berkesan."

Aku lantas mengamati sekeliling. Benar!! Aku tersenyum sambil berkata, "Ini baru pertama kalinya aku merasakan pagi seperti ini."
"Setelah sekian lama tinggal di sini?" ia setengah tak percaya. "Berarti masih ada lapis pagi hari yang belum terjamah olehmu selama ini."

Ini hanya secuil kisah yang terukir di jalan ini. Kalau kau ingin menyaksikannya, cobalah datangi jalan pemukiman di sekitaran kampus. Mungkin rutinitas seperti itu akan kau temui.
 
Created By SoraTemplates | Distributed By Gooyaabi Themes